PENERJEMAHAN BUDAYA PADA TEKS DRAMA MA’SA>TU
ZAINAB KARYA `ALI
AH}MAD BA>KAS|IR KE DALAM NOVEL
TRAGEDI ZAINAB OLEH HIDAYAH
A.
PENGANTAR
Sastra Arab terjemahan merupakan sebuah karya sastra yang bersumber
dari bahasa Arab kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa tertentu, baik ke dalam
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa lainnya. Menurut Salam (2013) teks
sastra terjemahan adalah sebuah teks sastra tersendiri yang sudah berbeda
dengan teks sastra dalam bahasa aslinya. Salam (2013) juga berpendapat bahwa
teks sastra yang diterjemahkan bukan lagi bagian dari khazanah sastra bahasa
sumber, melainkan termasuk bagian dari khazanah sastra bahasa sasaran. Dalam
hal ini, penerjemahan suatu karya sastra bukan hanya pada penggantian bahasa
saja. Adapun konsep penerjemahan sastra itu sendiri ialah memindahkan bahasa
asli ke dalam bahasa terjemah kemudian tanpa penambahan dan pengurangan.
Penerjemahan karya sastra telah ada sejak berabad-abad yang lalu
hingga sekarang. Perkembangan sastra terjemahan tersebut terbilang sangat pesat
di dunia. Begitu pula dengan sastra arab terjemahan, banyak karya sastra arab
yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di dunia yang kemudian
menjadikan karya sastra tersebut menjadi karya sastra yang mendunia karena
dapat dengan mudah dimengerti dan dipahami oleh seluruh masyarakat dunia.
Perkembangan sastra arab terjemah di dunia didorong oleh karena beberapa orang
yang memandang bahwa karya sastra merupakan sebuah cerminan masyarakat yang
kaya akan nilai-nilai kehidupan sosial-politik dan juga budaya. Arab sebagai
sebuah negara besar yang kaya akan ilmu pengetahuan dan juga kebudayaan serta
sumber daya alamnya yaitu minyak, membuat beberapa negara di dunia ingin
mengenal lebih dekat negara Arab tersebut yang salah satu caranya adalah dengan
menerjemahkan karya-karya sastra Arab ke dalam bahasa mereka.
Perkembangan sastra Arab terjemah merupakan efek dari pentingnya
penerjemahan itu sendiri yang dalam hal ini penerjemahan memiliki fungsi untuk
mengenal budaya negara lain. Melalui proses penerjemahan sastra kita dapat
memahami suatu budaya bangsa, sejarah dan sosial-politik dan lain sebagainya.
Sastra Arab merupakan salah satu sastra yang banyak diterjemahkan ke dalam
beberapa bahasa di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam hal ini, penerjemahan
sastra Arab tidak hanya dilakukan pada karya-karya sastranya saja, tetapi juga
pada buku-buku ilmu pengetahuan. Sastra Arab merupakan salah satu sastra
terindah di dunia karena kaya akan bahasa yang seringkali ketika diterjemahkan
ke dalam bahasa tertentu, akan menghilangkan rasa bahasa itu sendiri. Namun,
ketika membaca karya aslinya dalam bahasa Arab maka keindahan bahasa dalam
karya sastra tersebut dapat kita rasakan.
B.
PEMBAHASAN
Drama Ma’sa>tu Zainab (bahasa Arab) dan Novel Tragedi Zainab (bahasa Indonesia) merupakan
sebuah karya sastra yang mencerminkan kehidupan masyarakat Arab pada zaman
penjajahan yang terjadi di negara Arab secara silih berganti. Cerita tersebut
menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan bernama Zainab yang berjuang
demi kemerdekaan bangsanya. Zainab adalah perempuan yang cantik, cerdas, penuh
cinta dan semangat yang menggelora. Dengan cinta dan kecerdasan yang ia miliki,
Zainab membakar semangatnya untuk mencapai kemerdekaan bangsanya dan meraih
cinta sejatinya. Namun, untuk meraih kejayaan tersebut, Zainab banyak menjumpai
masalah yang seringkali malah muncul dari orang-orang yang ia kenal. Pada saat
itu, Zainab seolah menjadi orang yang lugu dan polos, semua orang yang ia kenal
berpura-pura baik padanya. Mereka tutup kebusukan dan kejelekan mereka dengan kelembutan
dan tipu rayu. Akan tetapi, Zainab dengan kecerdasannya mampu mencium kebusukan
dari sikap mereka itu. Zainab berjuang ditengah badai demi cintanya terhadap
bangsa bersama kekasih sejatinya yaitu Muhyyidin hingga nyata baginya
kemenangan itu.
Novel Tragedi Zainab merupakan salah satu karya sastra terjemahan
yang berasal dari sastra Arab. Teks sastra aslinya berjudul Ma’sa>tu
Zainab karya Ali Ah}mad Ba>kas|ir
yang berupa teks drama. Sebagai sebuah karya sastra dengan genre drama Ma’sa>tu
Zainab memiliki ciri yang berbeda dari
karya sastra lainnya seperti puisi maupun prosa. Sebagai sebuah karya sastra
yang bergenre drama pembawaan cerita dalam Ma’sa>tu Zainab cenderung lebih hidup dengan banyaknya dialog yang ditampilkan,
hal ini berbeda dengan puisi, cerita pendek maupun novel yang memiliki narasi
lebih panjang. Hal tersebut sangat berpengaruh pada penerjemahan teks Ma’sa>tu
Zainab ke dalam novel Tragedi Zainab yang
diterjemahkan oleh Hidayah Lc ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam penerjemahan teks drama
sebagai bahasa sumber ke dalam teks novel dalam bahasa sasaran ini terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam pemilihan diksi. Hal ini dapat dilihat dari
kesalahan yang terdapat dalam penerjemahan beberapa kata dan kalimat dalam
karya terjemahan tersebut setelah adanya perbandingan teks dalam bahasa sasaran
dengan teks dalam bahasa sasaran. Selain kesalahan dalam penerjemahan ke dalam
bahasa sasaran, penerjemahan karya tersebut juga masih kurang maksimal. Hal ini
dapat dilihat dari teks yang terdapat dalam karya terjemahan, di mana dalam teks tersebut dapat ditemukan bahwa
masih terdapat kata-kata dalam bahasa sumber yang belum diterjemahkan ke dalam
bahasa sasaran yang
kemudian dapat dikatakan pula sebagai penerjemahan budaya di mana penggunaan
istilah-istilah yang lazim digunakan dalam bahasa Arab atau budaya bangsa Arab
tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Adapun dalam analisis ini dapat dijumpai
beberapa kata dalam bahasa sumber yang tidak diterjemahkan atau diserap oleh
penerjemah ke dalam karya terjemahannya, di mana kata-kata tersebut masih
kurang familiar dalam bahasa sasaran. Dalam penerjemahan Naskah Drama Arab yang
berjudul Ma’sa>tu Zainab karya Ali Ah|}mad Ba>kas|ir oleh Hidayah Lc menjadi sebuah novel bahasa
Indonesia yang berjudul Tragedi Zainab banyak banyak dijumpai beberapa
penerjemahan budaya. Dalam hal ini, penerjemahan budaya dapat membantu pembaca
untuk mengenal lebih dekat kebudayaan yang ada di Arab. Akan tetapi, jika hal
penerjemahan tersebut tidak dibubuhi dengan penjelasan akan budaya tersebut
maka akan mempersulit pembaca yang baru mengenal karya sastra Arab terjemahan. Dalam penelitian ini, akan terlebih dahulu
disampaikan beberapa contoh penerjemahan yang karena penggunaan diksinya kurang
tepat dapat mempengaruhi isi karya sastra tersebut. Berikut hasil analisis
pemilihan diksi atau kesalahan penerjemahan yang mempengaruhi isi cerita:
- إنها أصبحت
خبيرة فى أمراض العيون من كثرة ماعالجت في المستشفى تحت إشراف الدكتور ديجنت. (Ba>kas|ir, tt:5)
-‘Dia menjadi ahli penyakit mata setelah
beberapa kali masuk rumah sakit dan berobat dengan dokter De Gent.’ (Hidayah, 2009:11)
Dari teks di atas terdapat kesalahan dalam penerjemahan kata
“ma>
’a>lajat” kata tersebut dalam teks
terjemahan di atas diartikan menjadi kata “masuk”. Sedangkan, menurut Kamus
Al-Munawwir kata “’a>lajat” berarti “merawat” atau “menangani”. Selain
kata tersebut kata “tahta`isyra>fi” diartikan menjadi kata “berobat dengan”, sedangkan dalam Kamus Al-Munawwir kata “`isyra>fi” berarti “petunjuk” atau “arahan”. Dengan
demikian, penerjemahan kalimat tersebut mengalami pergeseran makna. Sehingga,
dalam analisis penerjemahan tersebut kalimat di atas dapat diartikan
menjadi “…Dia menjadi ahli mata setelah banyak menangani hal tersebut di rumah
sakit di bawah
arahan Dokter De Gent”.
Kesalahan
penerjemahan yang terdapat dalam kalimat di atas juga diikuti dengan kesalahan
penerjemahan kalimat berikutnya. Sehingga, memunculkan kesalahpahaman dari
pembaca dan bahkan menjadikan cerita dalam bahasa sasaran berbeda dengan cerita
dalam bahasa sumber. Demikianlah yang terjadi dalam penerjemahan karya
tersebut. Berikut penggalan kalimat yang berhubungan
dengan kalimat sebelumnya yang mengalami kesalahan dalam penerjemahan.
...أنا لست
طبيبة. أنا ممرضة. (Ba>kas|ir,tt:6)
‘...aku
bukan dokter. Ingat. Aku hanya pasien.’ (Hidayah, 2009:11)
Dari
penerjemahan kalimat tersebut terdapat penambahan kata “ingat” di mana kata
tersebut dalam bahasa sumber tidak ada. Sedangkan ada kata “mumarid}ah” yang seharusnya berarti “perawat” menurut
Kamus Al-Munawwir. dalam teks diterjemahkan menjadi “pasien”. Penerjemahan di
atas mempengaruhi pemahaman cerita oleh pembaca.
Selain itu, dalam penerjemahan teks
tersebut penerjemah banyak menggunakan diksi berupa kata serapan dari teks asli
yang masih kurang familiar di gunakan dalam bahasa sumber yang dapat dikatakan
bahwa hal tersebut merupakan penerjemahan budaya. Penerjemahan budaya dalam hal
ini, yaitu penerjemah memasukkan unsur-unsur budaya seperti kalimat sapaan dan
juga istilah-istilah yang biasa digunakan dalam bahasa sumber tidak
diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran. Hal tersebut sangat mungkin disengaja
oleh penerjemah agar pembaca mengenal budaya yang ada dalam bahasa sumber, juga
agar rasa bahasa dalam bahasa sumber dapat dirasakan oleh pembaca dalam bahasa
sasaran atau bahkan karena tidak ada kalimat dalam bahasa sasaran yang sepadan
dengan kalimat tersebut. Berikut penerjemahan budaya Kata Sapaan yang terdapat
dalam novel Tragedi Zainab:
1. Azizati (Hidayah, 2009:11)
2. Azizi (Hidayah, 2009:11)
3. Habibah (Hidayah, 2009:13)
4. Habibi (Hidayah, 2009:169)
5. Sayyid (Hidayah, 2009:19)
6. Sayyidati (Hidayah, 2009:39)
7. Akhi (Hidayah, 2009:105)
8. Ukhti (Hidayah, 2009:118)
9. Rijal (Hidayah, 2009: 156)
10. Ummi (Hidayah, 2009:166)
11. Khalati (Hidayah, 2009: 168)
Jika
dilihat dari penerjemahan kata-kata tersebut dalam novel Tragedi Zainab, dapat
dikatakan bahwa kata-kata sapaan di atas masih kurang familiar digunakan dalam
bahasa sasaran. Adapun dalam hal ini kata-kata tersebut sebenarnya dalam bahasa
Indonesia memiliki padanan kata yang bisa digunakan seperti kata Sayangku,
Kekasihku, Sayang, Tuan, dan Nyonya, Saudaraku, Ibuku, Sahabatku dan lain
sebagainya. Akan tetapi, penerjemah memilih untuk tidak menerjemahkan kata-kata
tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pada teks terjemahan ditemukan
juga penggunaan kata “Madam” (Hidayah, 2009:13) dalam
beberapa percakapan yang mana kata Madam itu sendiri bermakna sama dengan kata
Nyonya atau Sayyidah. Penggunaan
kata Madam dalam penerjemahan tersebut juga merupakan penerjemahan budaya,
karena kata Madam itu sendiri bukan budaya asli Indonesia melainkan budaya
belanda yang sudah cukup sering dipakai dalam percakapan di Indonesia.
Dalam
analisis ini, ditemukan pula kata-kata atau kalimat yang masih belum
diterjemahkan dan ada pula yang diterjemahkan tetapi dalam bentuk footnote.
Menurut saya penerjemahan di dalam footnote juga masih kurang tepat.
Berikut hasil analisis penerjemahan budaya dalam istilah-istilah yang terdapat
dalam bahasa sumber naskah drama Ma’sa>tu Zainab :
1.
Tidak.
Wa hayatil udzaro’ (Hidayah, 2009:13). Kalimat tersebut merupakan
bentuk transliterasi dari bahasa sumber yang dicantumkan dalam teks terjemahan
dengan penerjemahannya menggunakan footnote yaitu “Demi para janda”. Dalam teks asli kalimat tersebut bertuliskan لاوحياة العذراء
(Ba>kas|ir, tt:7). Dilihat dari transliterasinya ada
ketidaksesuaian antara teks asli yang seharusnya العذراءdibaca adzra>` di dalam teks terjemahan dibaca udzaro’. Penerjemahan kata adzra>` juga mengalami ketidaksesuaian karena kata tersebut di dalam teks
diterjemahkan menjadi “janda”, sedangkan dalam kamus Al-Munawwir kata tersebut
diterjemahkan dalam bahasa sumber menjadi “gadis”.
2.
“Sam’an wa tho’atan. Kami menaati perintah anda, ya Sayyidah”
(hal:15). Kalimat tersebut juga mengalami hal yang sama seperti kalimat pada
point satu. Di dalam footnote kalimat miring tersebut diartikan “saya
dengar dan saya taat”. Akan tetapi dalam konteks percakapan yang ada dalam
teks, kalimat tersebut akan lebih mudah diterima jika langsung diartikan
menjadi “Siap, laksanakan!” tanpa harus menggunakan footnote dan kalimat
tambahan “Kami menaati perintah anda, ya Sayyidah”. Dengan demikian,
tidak terjadi pemborosan kata. Sehubungan dengan kalimat tambahan tersebut,
jika merujuk pada teks aslinya pada bagian tersebut hanya ada kata “sam’an
wa tho’atan” tanpa ada kalimat berikutnya.
Kalimat tersebut merupakan sebuah budaya dalam bahasa Arab yang digunakan
ketika seseorang mendapatkan perintah dari orang yang dihormatinya. Hal
tersebut juga terdapat dalam kebudayaan Indonesia.
3.
“ Illaliqo’. Sampai ketemu lagi di
tengah sukses yang kita inginkan” (hal:97). Dalam kasus ini, illaliqo’ tidak
diterjemahkan secara langsung, melainkan dengan memunculkan kalimat asli dalam
bahasa sumber kemudian ditambahkan dengan kalimat penjelas yang mana kalimat
tersebut tidak tercantum dalam teks bahasa sumber. Dalam teks bahasa sumber
hanya tercantum kalimat “إلى اللقاء (يخرج)”
(hal:51). Dalam
penerjemahan tersebut penerjemah menerjemahkan budaya dalam bangsa Arab yaitu
kalimat yang lazim diucapkan oleh seseorang ketika akan berpisah dengan lawan
bicaranya. Kalimat perpisahan tersebut memiliki makna bahwa karena adanya
perpisahan tersebut, maka ada harapan untuk dapat berjumpa lagi. Kalimat illaliqo’
dalam bahasa Indonsia sepadan dengan kalimat Sampai Jumpa.
4.
“...’ala>
kulli hal,...” ( Hidayah, 2009:105) dalam teks terjemahan kalimat tersebut tidak
diartikan, padahal kata tersebut bukan kalimat yang lazim digunakan dalam
bahasa sumber. Dalam hal ini, kalimat tersebut seharusnya diterjemahkan ke
dalam bahasa sumber yaitu dengan kalimat “ngomong-ngomong”. Dalam hal ini,
mungkin penerjemah ingin memperkenalkan budaya bangsa Arab ketika ingin
mengatakan “ngomong-ngomong” yaitu dengan kata “ ‘ala> kulli h}al ”. Akan tetapi, penerjemahan tersebut masih kurang
tepat karena penerjemah tidak memberikan keterangan kalimat tersebut setidaknya dengan footnote
seperti yang terdapat pada point 1 dan 2. Oleh karena tidak ada keterangan dari
kalimat tersebut dalam teks terjemahan maka hal tersebut hanya akan mempersulit
pembaca dalam memahami novel tersebut khususnya bagi pembaca pemula yang masih
sangat minim pengetahuannya akan bahasa Arab.
5.
“Ma’adzallah” (Hidayah, 2009:28) dalam teks
terjemahan tidak diterjemahkan. Kalimat ini termasuk ke dalam budaya bangsa
Arab ketika dalam keadaan terdesak kemudian mereka meminta perlindungan pada
Allah. Kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia dapat diartikan menjadi “Aku
berlindung pada Allah”. Namun, dalam teks terjemahan kalimat tersebut tidak
diterjemahkan dan tidak ada keterangan atas kalimat tersebut hal ini akan
membuat pembaca bertanya-tanya makna dari kalimat tersebut karena kalimat
tersebut masih sangat asing.
6.
“Marhaban
bika” (Hidayah, 2009: dalam teks terjemahan tidak diterjemahkan. Meskipun
kalimat tersebut tidak diterjemahkan, akan tetapi kaalimat tersebut masih dapat
dimengerti hal ini karena kata marhaban sudah sangat familiar di telinga
orang Indonesia. Kalimat Marhaban dalam bahasa Indonesia sepadan dengan
kalimat “Selamat Datang” karena dalam teks ada tambahan kata bika maka
kalimat marhaban bika dapat diartikan menjadi “selamat atas
kedatanganmu”.
7.
“Ma’assalamah” (Hidayah, 2009: 40). Kalimat tersebut merupakan
kalimat yang lazim diucapkan oleh seseorang ketika dalam momen perpisahan.
Biasanya kalimat ini jawaban dari kaimat ilalliqo’. Kalimat ini jika
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Semoga Selamat.
8.
“Wallahi” (Hidayah, 2009:126) kalimat ini biasa digunakan untuk
meyakinkan orang agar percaya dengan apa yang kita katakan. Dalam bahasa
Indonesia kalimat ini diterjemahkan menjadi “Demi Allah”.
9.
“Ahlan wa Sahlan” (Hidayah, 2009:168) kalimat tersebut merupakan kalimat
yang sapaan atau salam yang tujukan kepada seseorang yang baru datang. Kalimat
ini dalam bahasa Indonesia dapat diartikan menjadi “Selamat datang”.
10. “shobahul
Khair”, “Shobahunnur” (Hidayah, 2009:168) dua kalimat tersebut merupakan sebuah kalimat ucapan
yang selalu beriringan. Dalam bahasa Indonesia “Shobakhul Khair” diartikan
menjadi “Selamat pagi”, sedangkan “Shobahunnur” dalam bahasa Indonesia
diartikan menjadi “selamat pagi juga”.
C.
KESIMPULAN
Dalam novel Tragedi Zainab banyak terdapat kalimat-kalimat
yang tidak diterjemahkan. Akan tetapi melihat penerjemahan terhadap kata-kata
tersebut yang secara konsisten oleh penerjemah tidak diterjemahkan, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa penerjemah dengan sengaja tidak menerjemahkan
kata-kata tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Ada kemungkinan kalimat-kalimat tersebut tidak diterjemahkan agar karya
terjemahan tersebut dapat dengan mudah dikenali oleh pembaca bahwa novel
Tragedi Zainab merupakan karya terjemahan dari sastra Arab. Selain itu dengan
tidak menerjemahkan seluruh bahasa dalam karya sastra tersebut ke dalam bahasa
Indonesia maka pembaca akan lebih mudah mengenal budaya yang ada di Arab.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Ba>kas|ir, Ali Ah}mad._. “Ma’sa>tu Zainab”. Mesir:
Makatabatu Misr.
Ba>kas|ir, Ali Ah}mad. 2009. “Tragedi Zainab: Sekuntum Cinta di Tengah Bara”. Yogyakarta:
Navila.
Munawwir, Ahmad
Warson. 1997. “Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia”. Surabaya: Pustaka Progressif.
Salam, Aprinus.
2013.“Sastra Terjemahan: Beberapa Persoalan”. Artikel diakses dari www.culture.ugm.ac.id
pada tanggal 13 Juni 2015.